Index Labels

H.M ZATAKO: Menulis Merupakan Kehidupanku (Bagian I)

. . Tidak ada komentar:
Mukadimah


Aku bukan anak dari keluarga berada. Maksudku, kedua orangtuaku tidak tergolong keluarga kaya. Ayahku, alm. sidi Tamiruddin menikahi ibundaku, Siti Maimunnah bukan pula karena cinta. Mereka masih berhubungan keluarga. Ibundaku anak mamak (anak paman dalam artian bahasa minang, red) ayahandaku. Menurut adat istiadat minang kabau, khususnya keluarga orang pesisir Pariaman, ayah dan ibuku nikah anak mamak.

Aku anak tertua dari kedua orangtuaku. Kami sekeluarga empat orang, dua laki-laki, dua perempuan. Menurut ibuku, aku lahir di desa Gasan Ketek, kecamatan Tanjung Mutiara, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Kendati kami berasal dari wilayah administrasi Kabupaten Agam, tetapi adat istiadat yang kami pakai adalah adat istiadat pesisir Pariaman. Menurut catatan ibundaku, aku lahir hari senin pukul 14.30 tanggal 14 Desember 1941.

Ketika aku masih kanak-kanak, aku ditinggal pergi kedua orang tuaku bersama nenekku di Gasan Ketek. Kedua orangtuaku dan adikku dibawa merantau ke Medan. Aku baru dijemput ayahku dikampung untuk dibawa ke Medan ketika aku sudah berusia hampir tujuh tahun. Di Rantau, sudah lahir dua orang adikku, seorang perempuan dan seorang laki-laki. Adik perempuanku kedua menurut ibundaku meninggal dunia dalam pengungsian tahun 1948. Pada tahun 1948 itu pula ayahku menjemput aku ke Gasan Ketek untuk dibawa ke Medan. Aku bangga sekali ketika itu, karena ayahku membawa aku bukan melalui jalan darat atau menumpang dengan bus umum, melainkan dengan jalan udara, naik kapal terbang. Ayahku sendiri dari Medan ke Padang menumpang kapal terbang. Kalau aku tidak salah ingat, kapal terbang yang aku tumpangi bersama ayahku dari bandara udara Tabing Padang ke Bandara Polonia Medan adalah jenis Dakota. Tempat duduknya menyamping seperti tempat duduk oplet mikrolet. Setelah tahun 1948 itu aku naik pesawat jenis Dakota, pada tahun 1974 aku juga naik pesawat Dakota.  Tapi pada tahun 1974 itu aku naik Dakota bukan untuk menuju suatu kota, melainkan aku naik pesawat Dakota itu bersama teman-teman lainnya adalah untuk terjun dari udara. Hal ini merupakan suatu kenangan manis bagi diri pribadiku. Selain aku sangat bangga pergi merantau bukan dengan bus pengangkut umum, melainkan dengan naik kapal terbang, aku juga bangga 26 tahun kemudian aku naik pesawat terbang Dakota untuk melakukan terjun payung.

Aku termasuk terlambat masuk sekolah yang ketika itu disebut Sekolah Rakyat (SR). Aku masuk sekolah ketika usaku hampir delapan tahun yakni pada tahun 1949. Aku sekolah di SR Japaris Medan hingga tamat.
Setelah duduk dikelas dua SR, aku sudah lancar membaca.  Ayahku yang jadi penjual pakaian bekas di pusat pasar Medan juga seorang yang rajin membaca. Dia setiap hari membeli dua surat kabar. Yang kalau aku tidak salah ingat, dua surat kabar kesayangan ayahku yaitu Waspada dan Mimbar Umum. Waktu itu kedua surat kabar tersebut merupakan surat kabar kebanggan warga kota Medan dan sekitarnya.  Selain suka baca surat kabar, ayahku juga suka membaca buku-buku cerita terbitan Balai Pustaka, yang selalu dibaca ayahku adalah Siti Nurbaya, Layar Terkembang, Belenggu dan beberapa buku lainnya yang aku tidak ingat judulnya. Selain suka membaca buku-buku cerita terbitan Balai Pustaka, ayahku juga banyak membaca buku-buku cerita terbitan Medan, seperti karangan Matu Mona, Yusuf Syoib, dan beberapa pengarang lainnya yang aku tidak ingat lagi. Ketika itu di Medan memang banyak di terbitkan buku-buku baik cerita roman maupun novel. Surat kabar yang terbit di Medan pada umumnya juga memuat cerita bersambung. Kata ayahku, dia tertarik membaca surat kabar bukan hanya untuk membaca berita, tetapi juga asik membaca cerita bersambungnya.

Kalau kami, aku dan adik-adikku sudah berkumpul dengan ayah dan ibuku, maka ayahku selalu bercerita. Menurut dia bercerita itu adalah bakaba. Banyak kaba ayah yang menarik bagi kami.  Ayah suka menceritakan kaba tentang pendidikan, agama, petualangan dan kepahlawanan seseorang. Untuk lebih mengenakkan bakaba, dia menggesek rebab yang oleh ayah disebut rabab. Konon menurut cerita ayah, Ibuku tertarik kepada ayah setelah beberapa kali mendengarkan ayah baka sambil menggesekan rebab. Itu terjadi ketika ayah berkunjung kerumah mamaknya ke sungai sirah Pariaman. Kata ibuku pula ayahku menikah dengan seorang wanita cantik asal desa Cecang karena ayah pintar bakaba dan menggesek rebab itu.

Ayahku bertubuh tinggi semampai, kulitnya hitam mani, dan perawakan ayahku secara keseluruhan persis lelaki keturunan India. Sedangkan ibuku mirip orang Cina, berkulit putih dan hidung ibuku agak pesek. Berbeda dengan hidung ayahku yang mancung bak hidung bintang film India, Raj Kapoor.
Ayahku meninggal dunia masih dalam usia muda. Belum empat puluh tahun. Ayah meninggal 30 November 1953. Yah, beberapa hari setelah ditutup Pekan Olah Raga Nasional (PON) III di Medan.
Ayahku menderita penyakit tiga huruf alias TBC. Memang ketika masih hidup, aku sering melihat ayah batuk, dan batuk ayah kadang kedengaran sangat kering. Sering pula kulihat dahak yang keluar dai mulut ayah bercampur cairan berwarna merah. Ayah kadang-kadang batuk darah. Ketika ayah meninggal dunia, aku baru duduk di kelas IV SR. Setelah ayah meninggal, maka ibuku langsung sebagai ayah merangkap ibu.
Aku dan dua orang adikku ibu yang mengasuh. Ibu mewarisi kepandaian ayah menjahit. Hasil jaitan ibu berupa pakaian jadi langsung dijual ibu ke kedai-kedai pakaian di pusat pasar Medan. Ketika ayah masih hidup, ayah mengajari ibu menjahit. ayah selalu berkata kepada ibu, bahwa bila ayah sudah tidak ada, maka ibu tidak akan canggung menghidupi kami, karena dia sudah memiliki kepandaian. Karena aku anak tertua dan lelaki pula lagi, maka aku turut juga bertanggung jawab membantu ibu. Kepada ibu aku katakan, aku ingin menjual surat kabar. Ibuku semula tidak yakin kalau aku mampu menjual surat kabar di kota. Ibuku lebih yakin kalau aku jual roti dan kacang goreng saja sepulang sekolah. Saran pertama dari ibu untuk menjual roti dan kacang goreng itu aku patuhi. Tapi tidak lama aku menjadi penjual roti dan kacang goreng itu. Aku lebih tertarik menjual surat kabar.


Aku berikan alasan kepada ibu, kalau aku menjual surat kabar , aku dapat menambah ilmu pengetahuan umum. Sebab cukup banyak pengetahuan umum yang ditulis dalam surat kabar itu. Ibuku akhirnya dapat memahami maksud baikku itu.

Aku menjual surat kabar hingga kelas III SMP. Ketika aku duduk di kelas II SMP,  aku sudah menulis beberapa tulisanku berupa pantun sudah banyak dimuat di surat kabar. Setelah mahir menulis pantun di beberapa ruangan remaja surat kabar mingguan, maka akhirnya aku mulai pula belajar menulis puisi yang ketika itu lebih dikenal dengan sebutan sajak. Beberapa sajakku juga sudah banyak dimuat di ruangan remaja surat kabar. Sejalan dengan rajinnya aku menulis sajak itu, akupun rajin pula mengikuti lomba deklamasi, dan aku sering pula tampil sebagai pemenang. Semangat menulisku tambah giat. Aku tidak saja menulis pantun, sajak, tetapi aku mulai menulis artikel tentang remaja. Kemudian aku mulai pula menulis cerita pendek.

Setelah aku duduk dikelas I SMA, namaku sebagai penulis sudah mulai terkenal. Lalu akhirnya aku lebih tekun menulis dan terus menulis. Aku sangat bangga sekali ketika sajakku berhasil dimuat di majalah Taruna terbitan Balai Pustaka, Jakarta. Aku ingat betul setelah membeli majalah yang memuat sajakku itu, aku nyaris ditabrak becak, karena aku menyebrang tidak melihat ke kiri dan ke kanan dahulu. ketika namaku mulai dikenal sebagai penulis, aku masih saja menjual surat kabar. Aku berhenti menjual surat kabar setelah aku duduk di kelas II SMA. Aku kemudian aktif sebagai wartawan di sebuah mingguan terkenal Medan yakni mingguan Waspada Teruna. namaku yang cukup panjang, Zainuddin Tamir Koto akhirnya dipendekkan oleh pemimpin redaksi Waspada Teruna, Arshad Yahya menjadi Zatako. Kata Arshad Yahya kepadaku, lebih baik namaku dipendekkan dengan Zatako saja. Karena selain mudah di ingat, aku mungkin disangka pembaca orang Jepang. Tertarik dengan saran Arshad Yahya itu akhirnya memang nama Zatako jauh lebih terkenal dibandingkan nama lengkapku, Zainuddin Tamir Koto.

Yang membuat aku bangga lagi adalah karena aku yang baru berusia belasan tahun telah bergabung dengan penulis-penulis Sumatera Utara, seperti pengarang cerita pendek Ibrahim Sinik, penyair Herman Ks, Arsul Rubaiyah, Asmas Tatang Amara, Hamsad Rangkuti. Ketika di proklamirkan Manifest Kebudayaan yang oleh Lekra disebutkan Manikebu, aku turut sebagai salah seorang pendukungnya. Ketika berlangsung konfrensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI) di Jakarta tahun 1963,  aku turut sebagai peserta. Aku dan Hamsad Rangkuti ketika itu merupakan peserta paling muda. Pengalaman ikut konfrensi KKPI itu yang membuat aku lebih matang. Di Jakarta aku banyak bergaul dan kenal pengarang-pengarang terkenal, seperti penyair yang sajaknya sering aku deklamasikan, Toto Sudarto Bachtiar, Mansur Samin, dan pengarang cerita pendek W.S Rendra dan penyair Gunawan muhammad.

Pada zaman berkuasanya Orde Lama (Orla), cukup banyak pengalaman pahit yang aku rasakan. Yaitu dilarangnya Manikebu oleh rezim Orde Lama, maka kami pendukung Manikebu itu tidak boleh aktif sebagai wartawan. Malah surat kabar yang mendukung Manikebut itu dicabut surat izin terbitnya.
Seusai masalah Manikebu, aku dan beberapa teman penulis lainnya yang aktif sebagai wartawan dilanda lagi dengan masalah pornografi, sebab surat kabar terutama mingguan yang memuat foto dan cerita pornografi dicabut SIT-nya oleh Departemen Penerangan RI. Aku pada tahun 60-an termasuk seorang penulis cerita bersambung yang sangat disenangi pembaca. Karena Novel bersambungku berjudul “Tante Murtiyah” yang dimuat mingguan Varia Minggu yang akhirnya bernama Aneka Minggu sangat disenangi pembaca. Hal itu tidak lain karena jalinan ceritanya cukup panas, penuh dengan adegan-adegan yang menggiurkan pembaca, terutama pembaca kalangan muda. Menjelang tahun 70-an baru aku tahu diri. Aku menyadari semua karangan yang aku tulis memang tidak bernilai. Dia hanya mampu mendatangkan honorarium yang cukup lumayan, dan membuat namaku sangat populer terutama dikalangan remaja.

Tiga tahun menjelang bergejolaknya perjuangan Orde Baru yang terkenal dengan perjuangan Angkatan 66, aku berada di Jakarta. Di Jakarta selama 3 tahun aku benar-benar menghidupkan diriku sebagai penulis. Ketika namaku mulai terkenal sebagai penulis, Ibundaku Siti Maimunah menjemputku ke Jakarta. Dia bermaksud menjodohkan aku dengan gadis pilihannya di Medan dengan menumpang kapal laut. Stelah beberapa hari di Medan, aku dikenalkan dengan calon istriku itu. Anehnya, kendati kami belum saling kenal, ternyata kami saling cocok.

bersambung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ads

kunjungan

6440

Promo Air Asia

Tiket Promo

Hotel Murah?

Wego: Pesawat dan Hotel

Anda Susah Hamil?

Entri Populer