Index Labels

Tujuan Wisata, Judi dan Lokalisasi (Sebuah Wacana Pulau Tao)

. . Tidak ada komentar:

Pulau-Tao

oleh: Randy Syahrizal
160x600Tulisan singkat ini mungkin akan menimbulkan pertanyaan yang banyak di hati para pembaca, mungkin juga malah tidak mengenakkan hati, apalagi berkenaan dengan standard moral leluhur dan moral agama. Sesuai judulnya, saya sengaja menulis buah pikir ini dengan pertimbangan rasional, meski “cara” yang ditempuh bisa dinilai melanggar kearifan nilai-nilai yang sudah lama tertanam di masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Sumatera Utara, namun tujuan dari tulisan saya adalah memberikan jalan keluar yang bijak untuk kesejahteraan masyarakat banyak.
Sesuai judul diatas, saya akan menyoal Pulau Tao sebagai objek wisata, sekaligus tempat judi dan prostitusi. Kenapa Pulau Tao? Karena Pulau Tao adalah pulau yang tidak dihuni oleh manusia dan jaraknya juga cukup jauh dari pemukiman warga sekitar. Sedangkan perjalanan menuju Pulau Tao, harus ditempuh perjalanan darat ke Parapat, lalu menyebrang ke pulau Tao. Dan yang perlu saya garis bawahi pada tulisan ini adalah bahwa ide yang saya tulis ini merupakan kegelisahan pribadi penulis, dan tentunya masih sebuah wacana.

Danau Toba adalah danau terbesar di Indonesia yang terletak di Propinsi Sumatera Utara. Luasnya meliputi wilayah administratif Kabupaten Karo, Dairi, Simalungun, Toba Samosir, Samosir dan Tapanuli Utara. Danau Toba memiliki sebuah pulau besar ditengahnya, yakni pulau Samosir yang dihuni sebanyak 173.129 jiwa, tersebar di 16 kecamatan.

Tentunya semua orang tahu bahwa salah satu keunikan Danau Toba adalah terdapatnya pulau-pulau ditengahnya. Selain pulau Samosir yang berpenghuni, ada sebuah pulau yang tidak dihuni manusia. Namanya adalah Pulau Tao. Tidak banyak yang tahu bahwa Pulau Tao menyimpan keindahan alam yang luar biasa. Dahulu di zaman pendudukan kolonial Belanda, Pulao Tao sangat terkenal dan dijadikan tujuan wisata oleh orang-orang Belanda. Pulao Tao adalah pulau yang sangat kecil, dan untuk mengelilinginya hanya butuh waktu 1,5 jam dengan berjalan kaki.  Di Pulau ini dulunya terdapat sebuah penginapan dan restoran. Sebagai tujuan wisata, pulau ini menawarkan keheningan, sunyi dari keramaian dan berisiknya kota. Wisatawan seperti diajak untuk pergi mengunjungi peradaban lain. Sayangnya penginapan tersebut sudah tidak lagi beroperasi. Sedangkan restorannya masih beroperasi dengan penuh harapan ada wisatawan yang sudi singgah ke pulai itu.

Judi dan Lokalisasi

Sebelum saya memutuskan untuk menuliskannya, saya pernah mendiskusikan ini kepada teman-teman saya di tempat-tempat santai seperti warung kopi. Saya berpendapat bahwa judi dan pelacuran adalah produk peradaban manusia yang terus berevolusi mencari bentuknya yang baru sesuai kehendak zamannya, lebih jauh lagi judi dan pelacuran tidak mudah dihapuskan begitu saja, meskipun Tuhan sudah pernah menguburkan peradaban manusia yang buruk pada musibah banjir bandang di zaman Nabih Nuh, toh akhirnya judi dan prostitusi hidup lagi. Judi dan prostitusi adalah nafsu syahwat yang ada didalam diri manusia. Sepanjang manusia masih ada, maka judi dan pelacuran masih akan tetap ada. Judi dan pelacuran adalah virus yang mudah menyebar dan menjangkiti siapa saja, tua muda, miskin kaya. Menurut saya, justru penyebaran virusnya yang harus di waspadai, atau singkatnya “virus” ini harus dilokalisasi agar jauh dari pemukiman warga dan tidak menularkan kepada manusia lainnya.

Saya mendapat penolakan, dan saya cukup memaklumi penolakan tersebut. Bagi sebagian besar orang-orang Sumatera Utara, judi dan pelacuran adalah bentuk dari kegiatan yang mentdatangkan dosa besar. Karenanya, judi dan lokalisasi tidak perlu diberi tempat, bahkan kedua bentuk maksiat tersebut harus di hapuskan. Saat saya mengomentari dengan pertanyaan “bagaimana cara menghapusnya” seketika itu juga teman-teman yang saya suguhkan pertanyaan tersebut bingung dan membisu sejenak.

Saya sendiri tidak suka melihat judi, apalagi bermain judi, saya juga tidak setuju prilaku sex bebas. Namun apakah ada cara untuk menghapuskannya? Apakah dengan sanksi hukum? Berjudi adalah perbuatan melanggar KUHP, dan bisa ditindak dengan pasal pidana, tapi apakah judi menghilang?

Judi dan pelacuran adalah warisan tertua dari sejarah peradaban manusia. Sebut saja pada babak kehidupan Nabi Nuh, pelacuran bahkan sex bebas sudah ada dizaman ini, juga judi, dan sebagian besar manusia tidak lagi patuh pada norma dan ajaran kebaikan yang datangnya dari Tuhan, dan peradaban itupun akhirnya ditenggelamkan oleh banjir badang terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia. Semasa kecil, saya sering mendengar ceramah dari para ustadz bahwa di zaman jahiliah, jazirah Arab juga pernah mempraktekan perjudian yang paling buruk, yakni berjudi menebak jenis kelamin bayi di dalam kandungan dengan cara membedahnya dengan pedang. Dan peristiwa ini terjadi pada era abad sebelum masehi. Tidak hanya di Jazirah Arab saja (sumber agama samawi), di sejarah peradaban negeri-negeri lainnya pun berlaku hal yang sama.

Pada zaman India kuno, pelacur kelas bawahan disebut ‘Kumbhadasi.’ Dalam masyarakat itu, kaum wanita dari golongan rendah hanya diberi 2 pilihan, yaitu menikah atau menjadi ‘pelacur.’Yunani Kuno, pelacur jalanan disebut ‘Pornoi.’ Masyarakat Yunani Kuno telah mengenal ‘Pelacuran kuil’ – sebuah institusi purba tempat para pelacur meyumbangkan uang hasil kerja untuk kuil Aphrodite demi mendapatkan anugerah dari para dewi. Bahkan mereka diberi gelar ‘Hierodouli.’Di Romawi, pelacur dikatakan sebagai penjahat dan pengganggu anak-anak. Selain diharuskan berpakaian tertentu untuk membedakan mereka dengan golongan bangsawan. Di Asysyiria, ditetapkan hukuman bagi pelacur membuka tutup kepalanya sebagai pembeda dengan golongan lain. Pada zaman Babilonia, dikenal nama ‘Kizrete.’ Mereka disanjung sebagai golongan terhormat. Cerita-cerita tentang pelacur terhormat ini turut mewarnai kisah rakyat Mesir Kuno. Di Jepang, pelacur justru ditempatkan di tempat terhormat yang terkenal dengan istilah ‘Geisha.’Di Italia, tercatat nama Veronica Franco yang berjaya membangun tempat pelacuran pada tahun 1577 Masehi. Di China, pelacuran sengaja ditempatkan di rumah-rumah khusus. Pelacur dari golongan bawah diberi gelar ‘Wa She.’ Barulah pada dinasti Han, pelacur golongan ini ditempatkan bersama anggota kelompok pejahat, tahanan perang, dan budak. [Sumber: Misteri Ya’juj Ma’juj/ Karya: Mohd Nadzri Kamsin/ penerbit: Hijjaz Records Publishing].

Dengan menyimak kutipan sejarah diatas, semakin memperkuat kesimpulan bahwa judi dan pelacuran tidak bisa dihapuskan, melainkan harus di lokalisasi, atau dengan istilah virus harus dijauhkan dari hunian manusia, agar tidak menjangkiti manusia lainnya.

Keuntungan jika “judi dan prostitusi” di Lokalisasi

pulau-tao (1)Sama halnya ketika ada seorang teman yang bertanya kepada saya apakah pemakai narkoba pantas di penjara? saya menjawabnya, tidak pantas, terlebih lagi saya menjawabnya lebih lanjut bahwa narkoba harus di legalkan saja agar menjadi pemasukan bagi negara, hanya saja harganya harus dinaikkan 10x lipat, agar narkoba tidak menyebar ke masyarakat sederhana dan masyarakat kurang mampu yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Jika harganya dinaikkan sedemikian tinggi, apakah narkoba masih menjadi pilihan? saya yakin tidak.

Begitu juga dengan judi dan prostitusi. Coba bayangkan, jika judi dan prostitusi di legalkan disebuah pulau yang tidak berpenghuni, sebut saja pulau itu Pulau Tao, dan tiket berjudi atau tarif prostitusi dinaikkan mengacu standard kehidupan masyarakat menengah ketas, dengan konsekuensi hukum yang paling tegas, yakni hukuman kurungan dengan vonis panjang atau bisa seumur hidup dan vonis mati bagi yang tetap melakukan itu diluar area lokalisasi. Saya yakin ini akan efektif, karena seketika itu juga “judi dan prostitusi” naik kelas menjadi mewah, tidak lagi semurah saat ini, hingga tidak akan disentuh oleh mayoritas masyarakat, apalagi dengan sanksi hukum yang begitu tegas. Keuntungan pertama ini, adalah keberhasilan untuk melokalisasi virus.

Keuntungan kedua adalah, mendatangkan keuntungan kepada negara melalui pajak wisata, judi dan prostitusi, pajak ini tergolong pajak mewah, dan peruntukkannya bisa untuk membangun sekolah atau rumah sakit di daerah terdekat. Ketiga, mendatangkan devisa negara dari paket wisata alam yang juga menyuguhkan fasilitas judi (seperti di Texas misalnya) dan layanan prostitusi. Masyarakat sekitar, seperti masyarakat Samosir dan Parapat akan merasakan pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat, karena saya yakin pengunjungnnya tidak hanya berasal dari Sumatera Utara, tapi juga wilayah lain di pulau Sumatera, atau bahkan Indonesia, atau bahkan negara-negara tetangga. Pajak yang didapat bisa lebih jauh lagi untuk dijadikan program pembiayaan vital, seperti pendidikan dan rumah sakit gratis.

Kesimpulan: Belajar dari negeri tetangga

Genting-HighlandDi Malaysia, pemerintah kerajaan menjadikan Genting Highland sebagai satu-satunya tempat judi legal di kawasan daratan. Saya berangkat dari KL menuju Genting Highland dengan menaiki Taxi. Sopir Taxi menceritakan kepada saya bahwa umumnya yang datang ke sini adalah para pejabat dari Indonesia dan konglomerat/pengusaha dari Indonesia. Genting Highland atau sering disebut juga sebagai Casino de Genting, terletak di puncak pegunungan Titiwangsa di Malaysia yang jaraknya sekitar 50 km dari Kuala Lumpur ibu kota Malaysia.  Didirikan oleh Lim Goh Tong dari Fujian Cina di awal tahun 1960-an, sejak itu mulai berkembang terus. Dan Genting Highland turut menyumbang pendapatan yang sangat besar bagi pembangunan di Malaysia.

Untuk menuju tempat perjudian ini harus ditempuh dengan jalan yang berliku-liku dengan perbukitan yang terjal yang memakan waktu satu setengah jam kendaraan roda empat dari Kuala Lumpur, perjalanan naik atau turun cukup tajam namun melalui jalan yang luas sangat memadai, atau bisa juga ditempuh melalui kereta gantung.  Genting Highland oleh orang-orang Cina Malaysia disebut sebagai “atap langit” yang menampilkan panorama yang kontras.   Pada petang hari bangunan yang berada di atas puncak gunung pada ketinggian 2.000 meter di atas laut itu mulai diselimuti kabut, ditambah dengan bangunan baru pa­goda yang berada di ujung pintu masuk, sehingga suasananya menjadi mirip “kayangan” di film-film silat Cina.

Namun satu hal yang nantinya kita bisa lihat jika para pembaca berkesempatan berkunjung ke Casino Genting, pembaca akan heran karena faktanya lebih banyak ditemukan para “penjudi” dari negara-negara lain, terutama penjudi dari Indonesia ketimbang warga lokal. Situasi ini bertolak belakang dengan Indonesia yang melarang keras pendirian sarana tempat berjudi termasuk Casino, namun kenyataannya prktek judi malah terjadi di gang-gang sempit sampai ke pangkalan tukang becak, hingga di sekolah-sekolah dasar. Lalu, masihkah hal yang mendarah daging ini harus kita anggap tabu?

Penulis adalah Pengurus Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKER) Sumut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ads

kunjungan

Promo Air Asia

Tiket Promo

Hotel Murah?

Wego: Pesawat dan Hotel

Anda Susah Hamil?

Entri Populer