![]() |
Jalan Kesawan pada masa pendudukan Belanda |
Pada zaman dahulu Kota Medan
ini dikenal dengan nama Tanah Deli dan keadaan tanahnya berawa-rawa
kurang lebih seluas 4000 Ha. Beberapa sungai melintasi Kota Medan ini
dan semuanya bermuara ke Selat Malaka. Sungai-sungai itu adalah Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan dan Sei Sulang Saling/Sei Kera.
Sejarah awal Kota Medan
![]() |
Guru Patimpus, Pendiri Kota Medan 1590 |
Pada mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus
merga Sembiring Pelawi, lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak
zaman penjajahan orang selalu merangkaikan Medan dengan Deli
(Medan–Deli). Setelah zaman kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan Deli
secara berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya kurang popular.
Dahulu orang menamakan Tanah Deli mulai dari Sungai Ular
(Deli Serdang) sampai ke Sungai Wampu di Langkat sedangkan Kesultanan
Deli yang berkuasa pada waktu itu wilayah kekuasaannya tidak mencakup
daerah di antara kedua sungai tersebut.
Secara keseluruhan jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari
tanah liat, tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan
tanah merah. Hal ini merupakan penelitian dari Van Hissink tahun 1900
yang dilanjutkan oleh penelitian Vriens tahun 1910 bahwa di samping
jenis tanah seperti tadi ada lagi ditemui jenis tanah liat yang
spesifik. Tanah liat inilah pada waktu penjajahan Belanda ditempat yang
bernama Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau Menteng) orang
membakar batu bata yang berkwalitas tinggi dan salah satu pabrik batu
bata pada zaman itu adalah Deli Klei.
Mengenai curah hujan di Tanah Deli digolongkan dua macam yakni :
Maksima Utama dan Maksima Tambahan. Maksima Utama terjadi pada
bulan-bulan Oktober s/d bulan Desember sedang Maksima Tambahan antara
bulan Januari s/d September. Secara rinci curah hujan di Medan rata-rata
2000 pertahun dengan intensitas rata-rata 4,4 mm/jam.
Menurut Volker pada tahun 1860 Medan masih merupakan hutan
rimba dan di sana sini terutama dimuara-muara sungai diselingi
pemukiman-pemukiman penduduk yang berasal dari Karo dan semenanjung
Malaya. Pada tahun 1863 orang-orang Belanda mulai membuka kebun Tembakau
di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli. Sejak itu
perekonomian terus berkembang sehingga Medan menjadi Kota pusat
pemerintahan dan perekonomian di Sumatera Utara.
Pada awal perkembangannya merupakan sebuah kampung kecil
bernama "Medan Putri". Perkembangan Kampung "Medan Putri" tidak terlepas
dari posisinya yang strategis karena terletak di pertemuan sungai Deli
dan sungai Babura, tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang. Kedua
sungai tersebut pada zaman dahulu merupakan jalur lalu lintas
perdagangan yang cukup ramai, sehingga dengan demikian Kampung "Medan
Putri" yang merupakan cikal bakal Kota Medan, cepat berkembang menjadi
pelabuhan transit yang sangat penting.
Semakin lama semakin banyak orang berdatangan ke kampung
ini dan isteri Guru Patimpus yang mendirikan kampung Medan melahirkan
anaknya yang pertama seorang laki-laki dan dinamai si Kolok. Mata
pencarian orang di Kampung Medan yang mereka namai dengan si Sepuluh dua
Kuta adalah bertani menanam lada.
Tidak lama kemudian lahirlah anak
kedua Guru Patimpus dan anak inipun laki-laki dinamai si Kecik.
Pada zamannya Guru Patimpus merupakan tergolong orang yang
berfikiran maju. Hal ini terbukti dengan menyuruh anaknya berguru
(menuntut ilmu) membaca Al-Qur'an kepada Datuk Kota Bangun dan kemudian memperdalam tentang agama Islam ke Aceh.
Keterangan yang menguatkan bahwa adanya Kampung Medan ini adalah keterangan H. Muhammad Said yang mengutip melalui buku Deli: In Woord en Beeld
ditulis oleh N. ten Cate. Keterangan tersebut mengatakan bahwa dahulu
kala Kampung Medan ini merupakan Benteng dan sisanya masih ada terdiri
dari dinding dua lapis berbentuk bundaran yang terdapat dipertemuan
antara dua sungai yakni Sungai Deli dan sungai Babura. Rumah
Administrateur terletak di seberang sungai dari kampung Medan. Kalau
kita lihat bahwa letak dari Kampung Medan ini adalah di Wisma Benteng
sekarang dan rumah Administrateur tersebut adalah kantor PTP IX Tembakau
Deli yang sekarang ini.
Istana Kesultanan Deli |
Sekitar tahun 1612 setelah dua dasa warsa berdiri Kampung Medan, Sultan Iskandar Muda yang berkuasa di Kesultanan Aceh
mengirim Panglimanya bernama Gocah Pahlawan yang bergelar Laksamana
Kuda Bintan untuk menjadi pemimpin yang mewakili kerajaan Aceh di Tanah
Deli. Gocah Pahlawan membuka negeri baru di Sungai Lalang, Percut.
Selaku Wali dan Wakil Sultan Aceh serta dengan memanfaatkan kebesaran
imperium Aceh, Gocah Pahlawan berhasil memperluas wilayah kekuasaannya,
sehingga meliputi Kecamatan Percut Sei Tuan dan Kecamatan Medan Deli
sekarang. Dia juga mendirikan kampung-kampung Gunung Klarus, Sampali,
Kota Bangun, Pulau Brayan, Kota Jawa, Kota Rengas Percut dan
Sigara-gara.
Dengan tampilnya Gocah pahlawan mulailah berkembang Kerajaan Deli dan tahun 1632 Gocah Pahlawan kawin dengan Nangaluan Beru Surbakti yang merupakan putri Datuk Sunggal bergelar Sri Indra Baiduzzaman Surbakti
dimana setelah terjadi perkawinan ini raja-raja urung di kuta Medan
menyerah pada Gocah Pahlawan, dimana urung-urung ini tetap merdeka
dengan kata lain tidak membayar upeti kepada raja Deli.
Gocah Pahlawan wafat pada tahun 1653 dan digantikan oleh
puteranya Tuangku Panglima Perunggit, yang kemudian memproklamirkan
kemerdekaan Kesultanan Deli dari Kesultanan Aceh pada tahun 1669, dengan
ibukotanya di Labuhan, kira-kira 20 km dari Medan.
Masa Belanda
Belanda yang menjajah Nusantara kurang lebih tiga setengah
abad namun untuk menguasai Tanah Deli mereka sangat banyak mengalami
tantangan yang tidak sedikit. Mereka mengalami perang di Jawa dengan Pangeran Diponegoro sekitar tahun 1825-1830. Belanda sangat banyak mengalami kerugian sedangkan untuk menguasai Sumatera, Belanda juga berperang melawan Iskandar Muda Aceh, Kisar Bangun si Gara mata di tanah Karo dan Aceh, Imam Bonjol di Minangkabau, dan Raja Sisingamangaraja XII di daerah Tapanuli.
Jadi untuk menguasai Tanah Deli Belanda hanya kurang lebih 78 tahun mulai dari tahun 1864 sampai 1942. Setelah perang Jawa berakhir barulah Gubernur Jenderal Belanda Johannes van den Bosch
mengerahkan pasukannya ke Sumatera dan dia memperkirakan untuk
menguasai Sumatera secara keseluruhan diperlukan waktu 25 tahun.
Penaklukan Belanda atas Sumatera ini terhenti di tengah jalan karena Menteri Jajahan Belanda waktu itu Jean Chrétien Baud menyuruh mundur pasukan Belanda di Sumatera walaupun mereka telah mengalahkan Minangkabau yang dikenal dengan nama Perang Paderi (1821-1837).
Balai Kota, Gedung Pemerintahan Belanda dibangun pada tahun 1908 |
Sultan Ismail yang berkuasa di Riau secara tiba-tiba
diserang oleh gerombolan Inggeris dengan pimpinannya bernama Adam
Wilson. Berhubung pada waktu itu kekuatannya terbatas maka Sultan Ismail
meminta perlindungan pada Belanda. Sejak saat itu terbukalah kesempatan
bagi Belanda untuk menguasai Kesultanan Siak Sri Indrapura yang rajanya adalah Sultan Ismail.
Pada tanggal 1 Februari 1858
Belanda mendesak Sultan Ismail untuk menandatangani perjanjian agar
daerah taklukan kerajaan Siak Sri Indrapura termasuk Deli, Langkat dan
Serdang di Sumatera Timur masuk kekuasaan Belanda. Karena daerah Deli
telah masuk kekuasaan Belanda otomatislah Kampung Medan menjadi jajahan
Belanda, tapi kehadiran Belanda belum secara fisik menguasai Tanah Deli.
Pada tahun 1858 juga Elisa Netscher
diangkat menjadi Residen Wilayah Riau dan sejak itu pula dia mengangkat
dirinya menjadi pembela Sultan Ismail yang berkuasa di kerajaan Siak.
Tujuan Netscher itu adalah dengan duduknya dia sebagai pembela Sultan
Ismail secara politis tentunya akan mudah bagi Netscher menguasai daerah
taklukan Kesultanan Siak yakni Deli yang di dalamnya termasuk Kampung
Medan Putri.
Perkebunan Tembakau
Medan tidak mengalami perkembangan pesat hingga tahun
1860-an, ketika penguasa-penguasa Belanda mulai membebaskan tanah untuk
perkebunan tembakau. Jacob Nienhuys, Van der Falk, dan Elliot, pedagang
tembakau asal Belanda memelopori pembukaan kebun tembakau di Tanah Deli.
Nienhuys yang sebelumnya berbisnis tembakau di Jawa, pindah ke Deli
diajak seorang Arab Surabaya bernama Said Abdullah Bilsagih, Saudara
Ipar Sultan Deli, Mahmud Perkasa Alam Deli. Nienhuys pertama kali
berkebun tembakau di tanah milik Sultan Deli seluas 4.000 Bahu di
Tanjung Spassi, dekat Labuhan. Maret 1864, Nienhuys mengirim contoh
tembakau hasil kebunnya ke Rotterdam, Belanda untuk diuji kualitasnya.
Ternyata, daun tembakau itu dianggap berkualitas tinggi untuk bahan
cerutu. Melambunglah nama Deli di Eropa sebagai penghasil bungkus cerutu
terbaik.
Seperti yang dituliskan oleh Tengku Luckman Sinar dalam
bukunya, dijelaskan bahwa "kuli-kuli perkebunan itu umumnya orang-orang
Tionghoa yang didatangkan dari Jawa, Tiongkok, Singapura, atau Malaysia,
dimana disebutkan dalam catatan berbahasa Belanda bahwa “Belanda
menganggap orang-orang Karo dan Melayu malas serta melawan sehingga
tidak dapat dijadikan kuli.”
Kawasan Kesawan, Pusat Kota Medan pada Masa Pendudukan Belanda |
Pesatnya perkembangan Kampung "Medan Putri", juga tidak
terlepas dari perkebunan tembakau yang sangat terkenal dengan tembakau
Delinya, yang merupakan tembakau terbaik untuk pembungkus cerutu. Pada
tahun 1863, Sultan Deli memberikan kepada Jacob Nienhuys,
Van der Falk dan Elliot dari Firma Van Keeuwen en Mainz & Co, tanah
seluas 4.000 bahu (1 bahu = 0,74 ha) secara erfpacht 20 tahun di
Tanjung Sepassi, dekat Labuhan. Contoh tembakau deli. Maret 1864, contoh
hasil panen dikirim ke Rotterdam di Belanda, untuk diuji kualitasnya.
Ternyata daun tembakau tersebut sangat baik dan berkualitas tinggi untuk
pembungkus cerutu.
![]() |
Kantor Deli Maatschappij (Perusahaan Tembakau Deli) di Medan |
Perjanjian tembakau ditandatangani Belanda dengan Sultan
Deli pada tahun 1865. Selang dua tahun, Nienhuys bersama Jannsen, P.W.
Clemen, dan Cremer mendirikan perusahaan De Deli Maatschappij yang
disingkat Deli Mij di Labuhan. Pada tahun 1869, Nienhuys memindahkan
kantor pusat Deli Mij dari Labuhan ke Kampung Medan. Kantor baru itu
dibangun di pinggir sungai Deli, tepatnya di kantor PTPN II (eks PTPN
IX) sekarang. Dengan perpindahan kantor tersebut, Medan dengan cepat
menjadi pusat aktivitas pemerintahan dan perdagangan, sekaligus menjadi
daerah yang paling mendominasi perkembangan di Indonesia bagian barat.
Pesatnya perkembangan perekonomian mengubah Deli menjadi pusat
perdagangan yang mahsyur dengan julukan het dollar land alias tanah
uang. Mereka kemudian membuka perkebunan baru di daerah Martubung,
Sunggal pada tahun 1869, serta sungai Beras dan Klumpang pada tahun
1875.
Kemudian pada tahun 1866, Jannsen, P.W. Clemen, Cremer dan Nienhuys mendirikan Deli Maatschappij di Labuhan. Kemudian melakukan ekspansi perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal (1869), Sungai Beras dan Klumpang (1875), sehingga jumlahnya mencapai 22 perusahaan perkebunan pada tahun 1874. Mengingat kegiatan perdagangan tembakau yang sudah sangat luas dan berkembang, Nienhuys memindahkan kantor perusahaannya dari Labuhan ke Kampung "Medan Putri". Dengan demikian "Kampung Medan Putri" menjadi semakin ramai dan selanjutnya berkembang dengan nama yang lebih dikenal sebagai "Kota Medan".
Perkembangan Medan Putri menjadi pusat perdagangan telah
mendorongnya menjadi pusat pemerintahan. Tahun 1879, Ibukota Asisten
Residen Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan, 1 Maret 1887, ibukota Residen Sumatera Timur dipindahkan pula dari Bengkalis
ke Medan, Istana Kesultanan Deli yang semula berada di Kampung Bahari
(Labuhan) juga pindah dengan selesainya pembangunan Istana Maimoon pada
tanggal 18 Mei 1891, dan dengan demikian Ibukota Deli telah resmi pindah
ke Medan.
Pada tahun 1915 Residensi Sumatera Timur ditingkatkan
kedudukannya menjadi Gubernemen. Pada tahun 1918 Kota Medan resmi
menjadi Gemeente (Kota Praja) dengan Walikota Baron Daniel Mackay.
Berdasarkan "Acte van Schenking" (Akte Hibah) Nomor 97 Notaris J.M.
de-Hondt Junior, tanggal 30 Nopember 1918, Sultan Deli menyerahkan tanah
kota Medan kepada Gemeente Medan, sehingga resmi menjadi wilayah di
bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda. Pada masa awal Kotapraja ini,
Medan masih terdiri dari 4 kampung, yaitu Kampung Kesawan, Kampung
Sungai Rengas, Kampung Petisah Hulu dan Kampung Petisah Hilir.
![]() |
Stasiun Kereta Api Medan pada tahun 1937 |
Pada tahun 1918 penduduk Medan tercatat sebanyak 43.826
jiwa yang terdiri dari Eropa 409 orang, Indonesia 35.009 orang, Cina
8.269 orang dan Timur Asing lainnya 139 orang. Sejak itu Kota Medan berkembang semakin pesat. Berbagai
fasilitas dibangun. Beberapa di antaranya adalah Kantor Stasiun
Percobaan AVROS di Kampung Baru (1919), sekarang RISPA, hubungan Kereta
Api Pangkalan Brandan - Besitang (1919), Konsulat Amerika (1919),
Sekolah Guru Indonesia di Jl. H.M. Yamin sekarang (1923), Mingguan
Soematra (1924), Perkumpulan Renang Medan (1924), Pusat Pasar, R.S.
Elizabeth, Klinik Sakit Mata dan Lapangan Olah Raga Kebun Bunga (1929).
![]() |
Koran pada tahun 1918, terbit di Medan |
Secara historis perkembangan Kota Medan, sejak awal telah
memposisikan menjadi pusat perdagangan (ekspor-impor) sejak masa lalu.
sedang dijadikannya medan sebagai ibukota deli juga telah menjadikannya
Kota Medan berkembang menjadi pusat pemerintah. sampai saat ini di
samping merupakan salah satu daerah kota, juga sekaligus sebagai ibukota
Propinsi Sumatera Utara.
Masa Penjajahan Jepang
Tahun 1942 penjajahan Belanda berakhir di Sumatera yang
ketika itu Jepang mendarat dibeberapa wilayah seperti Jawa, Kalimantan,
Sulawesi dan khusus di Sumatera Jepang mendarat di Sumatera Timur.
Tentara Jepang yang mendarat di Sumatera adalah tentara XXV yang berpangkalan di Shonanto yang lebih dikenal dengan nama Singapura,
tepatnya mereka mendarat tanggal 11 malam 12 Maret 1942. Pasukan ini
terdiri dari Divisi Garda Kemaharajaan ke-2 ditambah dengan Divisi ke-18
dipimpin langsung oleh Letjend. Nishimura. Ada empat tempat pendaratan
mereka ini yakni Sabang, Ulele, Kuala Bugak (dekat Peureulak, Aceh Timur sekarang) dan Tanjung Tiram (kawasan Batubara sekarang).
Pasukan tentara Jepang yang mendarat di kawasan Tanjung
Tiram inilah yang masuk ke Kota Medan, mereka menaiki sepeda yang mereka
beli dari rakyat di sekitarnya secara barter. Mereka bersemboyan bahwa
mereka membantu orang Asia karena mereka adalah saudara Tua orang-orang
Asia sehingga mereka dieluelukan menyambut kedatangannya.
Ketika peralihan kekuasaan Belanda kepada Jepang Kota Medan
kacau balau, orang pribumi mempergunakan kesempatan ini membalas dendam
terhadap orang Belanda. Keadaan ini segera ditertibkan oleh tentara
Jepang dengan mengerahkan pasukannya yang bernama Kempetai
(Polisi Militer Jepang). Dengan masuknya Jepang di Kota Medan keadaan
segera berubah terutama pemerintahan sipilnya yang zaman Belanda disebut
gemeentebestuur oleh Jepang diubah menjadi Medan Sico
(Pemerintahan Kotapraja). Yang menjabat pemerintahan sipil di tingkat
Kotapraja Kota Medan ketika itu hingga berakhirnya kekuasaan Jepang
bernama Hoyasakhi. Untuk tingkat keresidenan di Sumatera Timur karena
masyarakatnya heterogen disebut Syucokan yang ketika itu dijabat oleh
T.Nakashima, pembantu Residen disebut dengan Gunseibu.
![]() |
Bandara Polonia Medan |
Penguasaan Jepang semakin merajalela di Kota Medan mereka
membuat masyarakat semakin papa, karena dengan kondisi demikianlah
menurut mereka semakin mudah menguasai seluruh Nusantara, semboyan
saudara Tua hanyalah semboyan saja. Di sebelah Timur Kota Medan yakni
Marindal sekarang dibangun Kengrohositai sejenis pertanian kolektif. Di
kawasan Titi Kuning Medan Johor sekarang tidak jauh dari lapangan
terbang Polonia sekarang mereka membangun landasan pesawat tempur
Jepang.
Masa Perjuangan Kemerdekaan
![]() |
Vergadering atau Rapat Akbar di Kawasan Kesawan dan Lapangan Merdeka Medan merayakan kemerdekaan RI (Proklamasi RI) |
Dimana-mana di seluruh Indonesia menjelang tahun 1945
bergema persiapan Proklamasi demikian juga di Kota Medan tidak
ketinggalan para tokoh pemudanya melakukan berbagai macam persiapan.
Mereka mendengar bahwa bom atom telah jatuh melanda Kota Hiroshima,
berarti kekuatan Jepang sudah lumpuh. Sedangkan tentara sekutu berhasrat
kembali untuk menduduki Indonesia.
Khususnya di kawasan kota Medan dan sekitarnya, ketika
penguasa Jepang menyadari kekalahannya segera menghentikan segala
kegiatannya, terutama yang berhubungan dengan pembinaan dan pengerahan
pemuda. Apa yang selama ini mereka lakukan untuk merekrut massa pemuda
seperti Heiho, Romusha, Gyu Gun dan Talapeta mereka bubarkan atau
kembali kepada masyarakat. Secara resmi kegiatan ini dibubarkan pada
tanggal 20 Agustus 1945 karena pada hari itu pula penguasa Jepang di
Sumatera Timur yang disebut Tetsuzo Nakashima mengumumkan kekalahan
Jepang. Ia juga menyampaikan bahwa tugas pasukan mereka dibekas
pendudukan untuk menjaga status quo sebelum diserah terimakan pada
pasukan sekutu. Sebagian besar anggota pasukan bekas Heiho, Romusha,
Talapeta dan latihan Gyu Gun merasa bingung karena kehidupan mereka
terhimpit dimana mereka hanya diberikan uang saku yang terbatas, sehingga mereka kelihatan berlalu lalang dengan seragam coklat di tengah kota.
![]() |
Pawai Kemerdekaan RI di Medan |
Beberapa tokoh pemuda melihat hal demikian mengambil
inisiatif untuk menanggulanginya. Terutama bekas perwira Gyu Gun di
antaranya Letnan Achmad Tahir mendirikan suatu kepanitiaan untuk
menanggulangi para bekas Heiho, Romusha yang famili/saudaranya tidak ada
di kota Medan. Panitia ini dinamai dengan “Panitia Penolong
Pengangguran Eks Gyu Gun“ yang berkantor di Jl. Istana No.17 (Gedung
Pemuda sekarang).
Tanggal 17 Agustus 1945 gema kemerdekaan telah sampai ke
kota Medan walupun dengan agak tersendat-sendat karena keadaan
komunikasi pada waktu itu sangat sederhana sekali. Kantor Berita Jepang
“Domei" sudah ada perwakilannya di Medan namun mereka tidak mau
menyiarkan berita kemerdekaan tersebut, akibatnya masyarakat tambah
bingung.
Sekelompok kecil tentara sekutu tepatnya tanggal 1
September 1945 yang dipimpin Letnan I Pelaut Brondgeest tiba di kota
Medan dan berkantor di Hotel De Boer (sekarang Hotel Dharma Deli).
Tugasnya adalah mempersiapkan pengambilalihan kekuasaan dari Jepang.
Pada ketika itu pula tentara Belanda yang dipimpin oleh Westerling
didampingi perwira penghubung sekutu bernama Mayor Yacobs dan Letnan
Brondgeest berhasil membentuk kepolisian Belanda untuk kawasan Sumatera
Timur yang anggotanya diambil dari eks KNIL dan Polisi Jepang yang pro
Belanda.
Akhirnya dengan perjalanan yang berliku-liku para pemuda
mengadakan berbagai aksi agar bagaimanapun kemerdekaan harus ditegakkan
di Indonesia demikian juga di kota Medan yang menjadi bagiannya. Mereka
itu adalah Achmad Tahir, Amir Bachrum Nasution, Edisaputra, Rustam
Efendy, Gazali Ibrahim, Roos Lila, A.malik Munir, Bahrum Djamil, Marzuki
Lubis dan Muhammad Kasim Jusni.
1990-an dan 2000-an
Pada tahun 1998, dari 1 hingga 12 Mei, Medan dilanda kerusuhan besar yang menjadi titik awal kerusuhan-kerusuhan besar yang kemudian terjadi di sepanjang Indonesia, termasuk Peristiwa Mei 1998 di Jakarta seminggu kemudian. Dalam kerusuhan yang terkait dengan gerakan "Reformasi" ini, terjadi pembakaran, perusakan, maupun penjarahan yang tidak dapat dihentikan aparat keamanan.
Pada durasi Tragedi Trisakti hingga Kerusuhan Mei 1998 selama pada tanggl 12 Mei hingga sekarang karena tidak dapat bekerja kantor dan pendidikan lagi waktunya menjelang libur umum semasa pada tidak terbit dari media massa, Sementara Bandar Udara Internasional Polonia dari seluruh dibuka selama 24-jam setiap hari, Pada tanggal 21 Mei tepat pada pukul 02:00 WIB sebagai libur umum besar sudah upacara penutup telah berhenti bandar udara dari semuanya berkumpul pindah ke Kuala Lumpur (adalah ibu kota negara Malaysia) yang tidak kembali tempat tinggal lagi dan bandar udara ke dari pesawat terbang milik penerbangan Malaysia Airlines Penerbangan Airbus A330 tiba ke Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur (dulu Bandar Udara Sultan Abdul Aziz Shah) dari kawasan Subang Jaya, Kota Petaling, Negara Bagan Selangor, Daerah Semenanjung Malaysia, Negara Malaysia.
Saat ini kota Medan telah kembali berseri. Pembangunan
sarana dan prasarana umum gencar dilakukan. Meski jumlah jalan-jalan
yang rusak, berlobang masih ada, namun jika dibandingkan dahulu, sudah
sangat menurun. [butuh rujukan]
Kendala klasik yang dihadapi kota modern seperti Medan adalah kemacetan
akibat jumlah kenderaan yang meningkat pesat dalam hitungan bulan,
tidak mampu diimbangi dengan peningkatan sarana jalan yang memadai. (sumber: Wikipedia)
Medan Hari ini (Foto)
Kawasan Jalan Putri Hijau |
![]() | |
Kawasan Jl. Brigjend Katamso, Mesjid Raya Medan |
Ditengah foto ini adalah Menara Air yang dibangun tahun 1908 terletak di Jalan Si Singamangaraja, Foto diambil saat bencana Asap di Medan |
![]() | ||
Balai Kota Medan |

Jalan Pemuda, Medan |
Jalan Zainul Arifin, Medan (kampung Keling) |
Kota Medan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar